Hai! Welcome to my page! Kenalin, gue Indah. Umur gue 16 tahun. Gue suka sama dunia tulis-menulis. Eh, bukan suka lagi deh, udah cinta, pake banget malah. Kadang gue nulis sesuatu yang puitis, dramatis, dan melankolis abis. Kadang juga, gue nulis dengan gaya komedi khas gue. Apa pun itu, i love writing. Follow gue ditwitter @indahgy

Thursday, May 3, 2012

Pain in the Rain


"Ferryn, AWAS!!" jerit Diaz begitu melihat truk tronton melintas didepan kami. BRRAAAKKK! Pedal rem terlambat diinjak, lalu semuanya gelap.

Aku lagi-lagi terbangun dari tidurku. Memori buruk itu terus mengusikku bahkan ketika aku berada di alam bawah sadar.

CTAARRR! Bunyi petir yang memekakkan telinga juga seolah ikut campur untuk membuat debaran jantungku tak menentu.Peluhku menetes, tubuhku gemetaran. Bunyi tiap rintik hujan seakan menghujam kepalaku. Sakit sekali! Aku ingin berteriak, namun kuingat wajah cemas abangku akan kembali mengusikku. Aku merintih. Rasa sakit itu menyerangku. Air mataku tak terbendung, tapi tangispun tak membuat rasa sakit ini musnah.

Tuhanku..... Tolong aku.....

Aku memang bukan hamba yang baik, bukan hamba yang rajin bersimpuh di hadapanMu, namun, kumohon, Tuhanku.... Selamatkanlah aku dari kepedihan ini. Biarkan aku terlepas dari rasa sakit ini. Aku tak sanggup....

Pagi menjelang, aku terjaga mendengar ketukan pada pintuku. Ah, abangku yang baik hati sudah datang membawakanku senyuman. Satu-satunya senyuman yang kumiliki saat ini, yang selalu kusukai sejak kami kecil.

"Fetarryna makan, ya? Abang udah beliin kamu bubur ayam di dekat sekolahmu dulu. Abang teringat semalam, kamu selalu kalap kalo makan bubur itu..." Abangku tersenyum sambil membawa meja kayu lipat, yang diatasnya sudah diletakkan semangkuk bubur dengan asap mengepul. Ku tatap matanya. Masih, masih kutemukan tatapan cemasnya. Aku diam, tidak mengatakan apapun padanya.

Abangku tersenyum lagi, "Abang suapin, ya! Dulu waktu kecil, kamu selalu merengek minta abang suapin.Tapi sekarang abang malah ketagihan suapin kamu..." Aku tak merespon abangku, namun aku menurutinya untuk makan. Aku tak mau menambah beban pikirannya. Abangku mengusap rambutku yang kini cepak.

"Nanti siang, kak Chava dateng, Ryn. Dia sengaja dateng ke jakarta buat nemenin kamu. Kalian itu kompak sekali ya..." Abangku tertawa, Chava itu kekasihnya sejak 5 tahun yang lalu. Dia adalah malaikat abangku. Dia cantik dan ketulusan hatinya membuat abangku bertekuk lutut. Bahkan aku. Tapi kini, maafkan aku, kak Chava. Lukaku ini bahkan tak tunduk padamu.

Hari sudah siang, namun mentari tak kunjung terik. Aku tersiksa akan langit kelabu. Seperti ada yang memburuku, membuat perasaanku tercekam. Kak Chava datang, ia tersenyum manis begitu melihatku. aku ingin membalas senyumannya, menyapanya, namun aku tak mampu untuk semua itu.

"Ferryn, kakak tadi mau beliin kamu permen yupi. Tapi enggak jadi, kakak beliin strawberry chessecake favoritmu aja deh!" kak Chava menyuapiku. Aku sedikit terhibur akan kedatangannya. kak Chava terus berbicara, menceritakan kekonyolan yang dibuat abangku. Ingin sekali rasanya aku tertawa, tapi aku tak sanggup. Aku memilih untuk tetap diam dan mendengarkan kak Chava yang bercerita dengan riang. Tak lama, mataku terasa berat dan memohon untuk ditutup, sayup-sayup kudengar suara abangku yang terasa dekat sedang berbicara dengan kak Chava. Aku tak mau membuka mataku.

"Kita harus sabar sampai kapan, Va? Aku bawa ferryn ke Amsterdam aja, ya?" Amsterdam? tinggal bersama ayah dan bunda. Aku tak mau. Aku tak mau meninggalkan 'dia' disini sendirian.

"Jangan sayang. Ferryn pasti semakin kesepian disana... Itu malah semakin membuat kondisinya parah..." Jawab kak Chava. Ku intip sedikit, kak Chava sedang memegang tangan abangku, yang terlihat kusut sekali. Aku kecewa. Aku harus menghentikan kekacauan ini.

"Bang Fitto..." panggilku lirih. Aku mengerahkan seluruh tenagaku untuk bisa berbicara setelah sekian lama membungkam mulutku. Abangku menoleh, matanya menatapku nanar.

"Ferryn..." kata abangku yang langsung memelukku. "Akhirnya kamu bicara juga, Ryn..." Abangku terdengar sangat lega. Sakit dihatiku sedikit sembuh mendengar itonasi abangku. Kak Chava mengelus pundakku, ia pun meneteskan air mata.

"Maafin Fettaryna, Bang... Ferryn... udah.. bikin kesalahan.. fatal..." kataku juga. Tangisku pecah dipelukan abangku. Aku sudah tak bisa menahan semua ini lagi.

"Abang selalu ada disamping kamu, Ryn. Ada kak Chava juga yang selalu jadi sahabat kamu.. Kamu nggak sendirian, Ryn..." Aku terdiam mendengar perkataan abangku. Aku memang tak sendirian. Tapi 'dia' sendirian sekarang! Itu akibat ulahku! Perasaan berdosa ini kembali menyerangku. Aku memberontak. Melepaskan pelukan abangku yang hangat, mengerahkan seluruh tenagaku untuk bangkit dari tempat tidur. Aku ingi berlari. Pergi! Mentusul dirinya yang tak lagi dapat kupandang dan kusentuh.

Aku berlari, meninggalkan abangku yang terjatuh dibelakangku sambil memanggil-manggil namaku. Aku bahkan tak menoleh! Maafkan aku, bang! Tapi aku ini seorang pembunuh! Aku harus membayar dosaku ini.

Hujan sedari tadi terus menyakiti tubuhku yang rapuh ini, tak peduli seberapa muaknya aku pada hujan, ia tetap saja bersikeras ingin melunturkan dosaku. Aku tertawa pedih dalam pelarianku. Selebat apapun hujan itu membasuhi tubuhku, dosaku tak akan bisa lenyap.

Aku menoleh ke belakang. Abangku tak lagi mengejarku. kuhentikan langkah kakiku. Aku jatuh bersimpuh, tangisku ini terhapus oleh hujan. Aku tertunduk. Masuk dalam keheningan jiwaku.

Diaz.... Maafkanlah aku karena membuat semuanya hancur berantakan. Seharusnya kita tak berdebat hari itu. Seharusnya aku tak membiarkan keegoisanku menang dan membiarkan kita bertengkar. Maafkan aku, Diaz! AKu bersedia untuk menemanimu disana. Aku sudah siap, Diaz.... Asalkan kau memaafkanku.

Kukeluarkan silet yang tadi kusematkan dalam kantong piyamaku. Lagi-lagi aku menertawakan diriku yang hina ini. Aku pantas melakukannya. Aku harus menghukum diriku sendiri. Ku arahkan silet itu pada nadiku, menunggu untuk tiba saat yang tepat untuk mengucapkan selamat tinggal pada dunia. Kupejamkan mataku, kurasakan dinginnya hujan ini. Hujan yang dulu begitu kucintai, ternyata hujan pulalah yang merebut nyawa Diaz, menggunakan diriku.

Saatnya tiba, aku sudah merasakan kehampaan disekujur tubuhku, saatnya kuhujamkan silet ini, menembus nadiku, mengantarku ke pelukan Diaz...

"FERRYN JANGAN!!!" tubuhku didorong oleh seseorang, silet yang kupegang terlepas dari genggamanku. Aku mengenali suara itu. Abangku.

Kubuka mataku perlahan, menemukan wajah abangku yang pucat selayaknya orang mati. Aku memberontak! Aku tak mau dihentikan. Tak seorangpun boleh mencegahku menyusul Diaz. Tak juga abangku!

Abangku segera memelukku. Kucoba untuk mendorongnya, tapi tidak bisa. Ia memelukku dengan erat. Masih kucoba lagi untuk berontak, tapi tak bisa. Ia memelukku terlalu erat. Dayaku habis sudah. Aku tak bisa melawannya. Aku menangis dipelukan abangku.

"Orang yang sudah pergi, tak akan bisa kembali, Ryn!" kata abangku sendu. Tubuhku semakin gemetaran. Aku lemas, abangku ikut menangis. "Meskipun kamu bunuh diri, kamu nggak akan menemukan Diaz, Ryn. Dia udah bahagia, Ryn!" Abangku berteriak dalam tangisnya yang membuatku hancur.

Sore itu, aku digendong abangku dalam pelukannya untuk pulang. Dalam isak tangisku, ia tetap mengulangi perkataannya, yang ternyata membuatku merasakan ketenangan untuk pertama kalinya sejak kecelakaan itu.

"Fetarryna harus kembali seperti semula. Hanya Fetarryna yang bisa mengembalikan kehidupan abang yang sempurna"

Sejak hari itu aku mengikuti pengobatan batin yang selalu ditemani oleh abangku atau kak Chava. Mereka berdualah yang menjadi penuntunku untuk kembali ke Fetarryna yang semula. Aku bertekad dalam hatiku, untuk mengembalikan kehidupan semula abangku, karena dia orang yang paling penting untukku, saat ini. Aku tak mau lagi melihat tatapan kesedihannya yang menikam hatiku.

Hari ini,m aku berniat untuk menemui 'dia'. Aku sudah yakin pada diriku, bahwa aku  sudah memaafkan diriku sendiri dan siap untuk menemuinya untuk yang pertama kalinya. Aku tersenyum. Ku letakkan bunga mawar putih. Dulu ia selalu membawakan bunga itu untukku, lucu sekali rasanya, sekarang akulah yang membawakan bunga itu untuknya.

Aku berlutut dekat 'dia' Kupejamkan kedua mataku, kuingat lagi peristiwa kecelakaan yang merenggut nyawa Diaz, kekasihku. Ya, kami terlibat pertengkaran sehingga aku tak memperhatikan truk didepanku. Diaz melindungiku dengan tubuhnya. Dia yang menggantikan posisiku untuk pergi ke surga

Aku sekarang paham, dan tersenyum. Kubelai lembut batu nisannya, lalu mengucapkan selamat tinggal. Aku akan hidup sebaik mungkin. Demi abangku dan Diaz...

No comments:

Post a Comment