Hai! Welcome to my page! Kenalin, gue Indah. Umur gue 16 tahun. Gue suka sama dunia tulis-menulis. Eh, bukan suka lagi deh, udah cinta, pake banget malah. Kadang gue nulis sesuatu yang puitis, dramatis, dan melankolis abis. Kadang juga, gue nulis dengan gaya komedi khas gue. Apa pun itu, i love writing. Follow gue ditwitter @indahgy

Friday, January 13, 2012

Perpisahan itu

Aku pacaran sama kamu karena aku mau ngerasain gimana rasanya hubungan yang terpaut jarak itu. Aku ga pernah ngerasain LDR itu sebelumnya. Tapi, semenjak sama kamu, aku jadi ngerti gimana rasanya. Aku mau sama kamu karena aku seneng sama kamu. Kamu pinter, banyak persamaan di antara kita. Dan akhirnya, aku sayang sama kamu.



Setiap hari, aku makin kenal sama kamu. Aku makin paham sama kebiasaan kamu. Aku juga cukup hafal sama kegiatan kamu, apalagi, sepakbola. Setiap ngeliat atau ingat segala sesuatu yang berhubungan dengan sepakbola, aku ingat kamu, haha.



Aku... Aku bangga sama kamu. Aku bahagia ngemilikin kamu. Aku juga bangga sama hubungan yang udah kita jalani ½ tahun ini, ngga tau kenapa.



Aku selalu nyoba buat ngepertahanin hubungan kita, karena sebenarnya aku benci perpisahan dengan orang yang aku sayang.



Aku selalu nyoba buat ngindarin yang namanya jenuh. Aku juga pernah ngejelasin di email sebelumnya kan?



Setiap aku benar-benar pengen sendiri, kamu ngehubungin aku. Jadi, gimana caranya aku buat ngindar dan jangan sampai ngerasa jenuh? Apa kamu ngga ngerti sama jalan pikiran aku? Atau sebenernya kamu ga suka cara aku ini?



Aku sering nyuekin kamu, aku sering ngejutekin kamu. Tapi, itu bukan tanpa sebab. Kadang, akunya badmood, atau akunya kesel sama salah satu cara kamu ngungkapin perasaan kamu dalam bentuk tulisan. Aku capek selalu dihantui sama rasa bersalah karena udah nyakitin kamu.



Bukannya, pas ulangtahunmu kemarin kamu pengennya aku berubah kan? Tapi, gimana bisa aku ngerubah semuanya secara total? Aku cuma bisa ngurangin itu. Dan selama ini, sikap cuek atau jutek aku cuma reaksi dari apa yang udah kamu tuliskan dan kirim ke aku, dan selebihnya itu karena akunya memang lagi badmood.



Kadang, ada beberapa cara kamu ngungkapin gagasan/apa yang kamu rasain ke aku, yang gak aku suka. Aku ngerasa tersinggung karena kamu terkesan nyudutin dan nyalahin aku. Iya, aku memang sensitif.



Selama ini, kenapa cuma aku yang berusaha buat hal-hal baru? Kenapa cuma aku yang cerita apa yang aku rasain, lakuin, atau rencanain? Kenapa cuma aku yang di sini terbuka apa adanya?
***

Email itu pun terkirim. Mungkin, aku lebih mampu tuk menjelaskan perasaanku secara rinci lewat tulisan, bukan mengucapkannya secara langsung. Selain itu, aku juga tak mampu menahan tangis jika aku langsung mengutarakan perasaanku padanya.
Handphoneku berdering. Siapa ya? Nomornya tidak ku kenali, dan di layar handphoneku pun tak ada nama yang tertera di sana.
"Ya? Halo? Ini siapa ya?" Sapaku.
"Ini aku." Jawabnya. Ah! Suaranya. Aksennya. Aku hafal. Aku tau siapa orang ini.
"Iya? Ada apa? Kamu pakai nomor baru? Nomor yang lama kenapa emangnya?" Tanyaku basa basi.
"Ku pikir, jika aku menelfonmu dengan nomor yang biasa ku pakai, kamu tak kan mau mengangkat telfonku, karena kamu tau itu aku." Tiba-tiba aku ingin menangis saja ketika mendengar penjelasannya.
"Bukankah sekarang aku telah mengangkat telfon darimu?" Tak ada suara beberapa saat. Cepat-cepat aku bertanya lagi. "Apa ada yang harus kita bicarakan (lagi)?"
"Kamu kemana saja? Kenapa tidak ada kabar? Mengapa kamu tidak membalas pesanku?" Dia balik menyerangku dengan berbagai macam pertanyaan yang semakin membuatku tak tahan lagi ingin menangis. Aku dengar suara cemasnya dari ujung sana.
"Apa harus aku jawab pertanyaan-pertanyaan itu?" Aku mencoba untuk mengendalikan emosiku dan berharap getir suaraku menahan perih itu tidak terdengar olehnya.
"Baiklah. Besok aku akan ke kotamu. Kita akan bertemu di cafe tempat kita biasa bertemu. Aku akan ada di sana jam 7 malam. Jangan sampai lupa."
Klik! Telfon pun ditutup, padahal... aku belum menjawab apa-apa, apalagi memberi persetujuan.
***
Sesuai janji yang telah dibuatnya tanpa persetujuanku (sebenarnya), aku pun bersiap-siap. Ku kenakan pakaian yang persis seperti ketika dia mengutarakan perasaannya padaku. Ketika aku dan dia menjadi 'kita' untuk pertama kalinya, di hari itu.
"Apa aku terlambat?" Seseorang bertanya mengejutkanku dari lamunanku.
"Terlambat 15 menit." Jawabku setelah melihat seseorang yang telah mengejutkan tersebut lalu mengalihkan padanganaku ke jam di handphoneku.
"Mengapa kamu melamun? Apa ada yang sedang kamu pikirkan?" Tanyanya.
"Menurutmu?"
"Ya sudahlah. Kamu ingin pesan apa?" Tanyanya lagi.
"Pesan saja makanan yang dulu kamu pesankan untukku ketika kamu menembakku."
"Hah? Apa? Oke. Baiklah.” Dia memanggil waiter cafe, lalu, memesan makanan. Setelah itu, dia menatapku dalam-dalam.
"Ada apa?" Tanyaku heran.
"Apa.... Apa pakaian yang kamu kenakan sekarang adalah pakaian yang..."
"Benar. Aku hanya ingin membangkitkan kenangan hari itu. Aku rindu hari itu." Potongku dan langsung menjawab pertanyaan yang mungkin sedang menguasai pikirannya. "Kamu hafal tentang pakaian yang ku kenakan dan makanan yang dulu ku pesan? Bagaimana kamu bisa hafal?" Tanyaku yang sebenarnya senang karena dia mengingatnya.
"Karena itu hari yang spesial." Jawabnya singkat. Aku pun mengangguk setuju karena hari itu juga spesial bagiku.
Setelah makanan habis, aku pun langsung memulai tuk membuka obrolan lagi. "Jadi, apa yang harus kita bicarakan di sini?"
Suasana hening sesaat. Sepertinya, pertanyaanku benar-benar menjurus. Ku lihat gelagat darinya yang tampak bingung harus berkata apa. Ia pun akhirnya membuka mulutnya.
"Sepertinya... semakin hari aku benar-benar tidak bisa menjadi seperti yang kamu mau. Kita sering kali tidak sejalan, tidak seperti dulu, yang selalu mampu sejalan dan saling mengerti. Jadi, sepertinya kita hanya bisa mempertahankannya selama 6 bulan saja."
"Saja? Kamu bilang apa? Saja?" Tanyaku dengan nada suara yang menyindir. "Aku pikir, 6 bulan yang sudah kita lalui ini benar-benar hebat. Kita mampu melewatinya bersama. Aku banyak belajar darimu. Tanpamu, aku tak kan mengerti apa rasanya hubungan yang terpaut jarak itu." Lanjutku.
"Lalu, aku harus berbicara apa pada penulis yang begitu pandai memainkan kata-kata ini?" Dia balik bak menyindirku.
"Aku tidak memainkan kumpulan huruf tersebut. Aku hanya... Aku hanya mengucapkan apa yang ku rasakan. Itu saja. Jadi, jangan karena aku suka menulis, kamu jadi mengira setiap yang ku tulis untukmu hanyalah sekedar rancangan dan imajinasiku."
"Apa itu berlaku untuk kalimat 'aku sayang padamu' yang kamu tuliskan di pesan singkat untukku?"
"Tentu! Aku menyayangimu, benar-benar menyayangimu. Tapi, memang benar katamu. Saat ini, kita kerap kali tidak sejalan. Daripada kita terus-terusan saling menyakiti tanpa sadar atau pun tidak, lebih baik sampai di sini saja."
Dia terdiam mendengar penjelasanku. Aku tak mau ada yang mengganjal lagi di hatiku, makanya, ku lanjutkan lagi apa yang sekarang membuat hatiku meledak-ledak. 
"Aku tau umurku berapa. Jadi, aku berpikir realistis sajalah. Setiap pertemuan pasti kan selalu dihadiahkan perpisahan. Tapi, jika Tuhan berkehendak lain... Who knows."
"Ah kamu, kamu selalu lebih bijak dariku. Itu yang ku suka darimu."
Sama seperti 6 bulan lalu yang Ia lakukan padaku, Ia langsung memelukku. Tapi, kali ini berbeda. Jika dulu penuh senyum bahagia dan tawa, serta perasaan canggung. Sekarang semuanya berubah menjadi suasana penuh haru dan pilu.
"Maaf jika selama ini aku menyusahkanmu... menuntutmu banyak hal... membuatmu cemburu... Maaf jika aku menyakitimu... Aku tak bermaksud untuk semua itu. Terimakasih untuk semua pelajaran yang telah kamu berikan untukku. Percayalah, aku menyayangimu. Namun, mungkin perpisahan ini adalah keputusan yang terbaik. Tuhan akan mempertemukan kita lagi jika nama kita berdua telah ditakdirkan untuk menjadi pasangan yang bahagia selama-lamanya." Tangisku pecah. Ku tuangkan segala perasaanku dalam pelukannya. Ia pun semakin memelukku dengan erat. Hangat. Penuh getir.
"Menangislah jika itu membuatmu tenang. Aku kan memelukmu sampai kamu merasa lebih kuat."
Sebuah pelukan yang tulus darinya memang memberikan energi yang tak terhingga untukku.
"Apa… aku sudah ja..ja..hat pada..mu?" Suaraku tercekat karena tangis yang semakin menjadi-jadi itu.
"Percayalah, kamu tidak jahat. Jika kamu mampu menemukan orang yang lebih dariku, temukanlah orang itu. Aku hanya ingin kamu bahagia."
Cafe, tempat duduk, makanan yang dipesan, dan pakaian yang ku kenakan, semuanya sama seperti pertama kali aku diperbolehkan memanggilnya dengan panggilan 'sayang'. Bedanya, jika pertemuan 6 bulan yang lalu itu untuk mengawali sesuatu yang baru, pertemuan kali ini adalah pertemuan untuk mengakhiri sesuatu yang pernah diawali tersebut.
Ada perasaan lega di hatiku ketika sesuatu yang sudah lama aku simpan akhirnya ku sampaikan pada orang yang membuat perasaan yang mengganjal di hatiku itu tercipta.
Mungkin, tidak akan ada yang berubah dari hari-hariku. Aku tetap akan menjalani aktivitas seperti biasa. Tak kan ada rasa cemburu yang berkelabat secara langsung karena aku dan dia terpaut oleh jarak. Aku tak mungkin bisa tau semua yang dia lakukan. Cemburuku mungkin hanya akan muncul, ketika aku melihat dia dekat dengan seseorang di jejaring sosialnya. Yang berubah hanyalah tak ada lagi pesan singkat 'Selamat Pagi' 'Selamat Tidur' 'Aku merindukanmu' 'Sedang apa?' 'Jangan lupa makan' darinya yang ku terima di kotak masuk handphoneku.
Tuhan, semoga perpisahan ini tidak menyakiti hati siapa pun di antara kami. Amin.

No comments:

Post a Comment