Aku pacaran sama kamu karena aku mau
ngerasain gimana rasanya hubungan yang terpaut jarak itu. Aku ga pernah
ngerasain LDR itu sebelumnya. Tapi, semenjak sama kamu, aku jadi ngerti gimana
rasanya. Aku mau sama kamu karena aku seneng sama kamu. Kamu pinter, banyak
persamaan di antara kita. Dan akhirnya, aku sayang sama kamu.
Setiap hari, aku makin kenal sama kamu. Aku
makin paham sama kebiasaan kamu. Aku juga cukup hafal sama kegiatan kamu,
apalagi, sepakbola. Setiap ngeliat atau ingat segala sesuatu yang berhubungan
dengan sepakbola, aku ingat kamu, haha.
Aku... Aku bangga sama kamu. Aku bahagia
ngemilikin kamu. Aku juga bangga sama hubungan yang udah kita jalani ½ tahun
ini, ngga tau kenapa.
Aku selalu nyoba buat ngepertahanin hubungan
kita, karena sebenarnya aku benci perpisahan dengan orang yang aku sayang.
Aku selalu nyoba buat ngindarin yang namanya
jenuh. Aku juga pernah ngejelasin di email sebelumnya kan?
Setiap aku benar-benar pengen sendiri, kamu
ngehubungin aku. Jadi, gimana caranya aku buat ngindar dan jangan sampai
ngerasa jenuh? Apa kamu ngga ngerti sama jalan pikiran aku? Atau sebenernya
kamu ga suka cara aku ini?
Aku sering nyuekin kamu, aku sering
ngejutekin kamu. Tapi, itu bukan tanpa sebab. Kadang, akunya badmood, atau akunya
kesel sama salah satu cara kamu ngungkapin perasaan kamu dalam bentuk tulisan. Aku
capek selalu dihantui sama rasa bersalah karena udah nyakitin kamu.
Bukannya, pas ulangtahunmu kemarin kamu
pengennya aku berubah kan? Tapi, gimana bisa aku ngerubah semuanya secara
total? Aku cuma bisa ngurangin itu. Dan selama ini, sikap cuek atau jutek aku
cuma reaksi dari apa yang udah kamu tuliskan dan kirim ke aku, dan selebihnya
itu karena akunya memang lagi badmood.
Kadang, ada beberapa cara kamu ngungkapin
gagasan/apa yang kamu rasain ke aku, yang gak aku suka. Aku ngerasa tersinggung
karena kamu terkesan nyudutin dan nyalahin aku. Iya, aku memang sensitif.
Selama ini, kenapa cuma aku yang berusaha
buat hal-hal baru? Kenapa cuma aku yang cerita apa yang aku rasain, lakuin,
atau rencanain? Kenapa cuma aku yang di sini terbuka apa adanya?
***
Email
itu pun terkirim. Mungkin, aku lebih mampu tuk menjelaskan perasaanku secara
rinci lewat tulisan, bukan mengucapkannya secara langsung. Selain itu, aku juga
tak mampu menahan tangis jika aku langsung mengutarakan perasaanku padanya.
Handphoneku
berdering. Siapa ya? Nomornya tidak ku kenali, dan di layar handphoneku pun tak ada nama yang
tertera di sana.
"Ya?
Halo? Ini siapa ya?" Sapaku.
"Ini
aku." Jawabnya. Ah! Suaranya. Aksennya. Aku hafal. Aku tau siapa orang
ini.
"Iya?
Ada apa? Kamu pakai nomor baru? Nomor yang lama kenapa emangnya?" Tanyaku
basa basi.
"Ku
pikir, jika aku menelfonmu dengan nomor yang biasa ku pakai, kamu tak kan mau
mengangkat telfonku, karena kamu tau itu aku." Tiba-tiba aku ingin
menangis saja ketika mendengar penjelasannya.
"Bukankah
sekarang aku telah mengangkat telfon darimu?" Tak ada suara beberapa saat.
Cepat-cepat aku bertanya lagi. "Apa ada yang harus kita bicarakan
(lagi)?"
"Kamu
kemana saja? Kenapa tidak ada kabar? Mengapa kamu tidak membalas pesanku?"
Dia balik menyerangku dengan berbagai macam pertanyaan yang semakin membuatku
tak tahan lagi ingin menangis. Aku dengar suara cemasnya dari ujung sana.
"Apa
harus aku jawab pertanyaan-pertanyaan itu?" Aku mencoba untuk
mengendalikan emosiku dan berharap getir suaraku menahan perih itu tidak
terdengar olehnya.
"Baiklah.
Besok aku akan ke kotamu. Kita akan bertemu di cafe tempat kita biasa bertemu.
Aku akan ada di sana jam 7 malam. Jangan sampai lupa."
Klik! Telfon pun ditutup, padahal... aku
belum menjawab apa-apa, apalagi memberi persetujuan.
***
Sesuai
janji yang telah dibuatnya tanpa persetujuanku (sebenarnya), aku pun
bersiap-siap. Ku kenakan pakaian yang persis seperti ketika dia mengutarakan
perasaannya padaku. Ketika aku dan dia menjadi 'kita' untuk pertama kalinya, di
hari itu.
"Apa
aku terlambat?" Seseorang bertanya mengejutkanku dari lamunanku.
"Terlambat
15 menit." Jawabku setelah melihat seseorang yang telah mengejutkan
tersebut lalu mengalihkan padanganaku ke jam di handphoneku.
"Mengapa
kamu melamun? Apa ada yang sedang kamu pikirkan?" Tanyanya.
"Menurutmu?"
"Ya
sudahlah. Kamu ingin pesan apa?" Tanyanya lagi.
"Pesan
saja makanan yang dulu kamu pesankan untukku ketika kamu menembakku."
"Hah?
Apa? Oke. Baiklah.” Dia memanggil waiter
cafe, lalu, memesan makanan. Setelah itu, dia menatapku dalam-dalam.
"Ada
apa?" Tanyaku heran.
"Apa....
Apa pakaian yang kamu kenakan sekarang adalah pakaian yang..."
"Benar.
Aku hanya ingin membangkitkan kenangan hari itu. Aku rindu hari itu." Potongku
dan langsung menjawab pertanyaan yang mungkin sedang menguasai pikirannya. "Kamu
hafal tentang pakaian yang ku kenakan dan makanan yang dulu ku pesan? Bagaimana
kamu bisa hafal?" Tanyaku yang sebenarnya senang karena dia mengingatnya.
"Karena
itu hari yang spesial." Jawabnya singkat. Aku pun mengangguk setuju karena
hari itu juga spesial bagiku.
Setelah
makanan habis, aku pun langsung memulai tuk membuka obrolan lagi. "Jadi,
apa yang harus kita bicarakan di sini?"
Suasana
hening sesaat. Sepertinya, pertanyaanku benar-benar menjurus. Ku lihat gelagat
darinya yang tampak bingung harus berkata apa. Ia pun akhirnya membuka
mulutnya.
"Sepertinya...
semakin hari aku benar-benar tidak bisa menjadi seperti yang kamu mau. Kita
sering kali tidak sejalan, tidak seperti dulu, yang selalu mampu sejalan dan
saling mengerti. Jadi, sepertinya kita hanya bisa mempertahankannya selama 6
bulan saja."
"Saja?
Kamu bilang apa? Saja?" Tanyaku dengan nada suara yang menyindir.
"Aku pikir, 6 bulan yang sudah kita lalui ini benar-benar hebat. Kita
mampu melewatinya bersama. Aku banyak belajar darimu. Tanpamu, aku tak kan
mengerti apa rasanya hubungan yang terpaut jarak itu." Lanjutku.
"Lalu,
aku harus berbicara apa pada penulis yang begitu pandai memainkan kata-kata
ini?" Dia balik bak menyindirku.
"Aku
tidak memainkan kumpulan huruf tersebut. Aku hanya... Aku hanya mengucapkan apa
yang ku rasakan. Itu saja. Jadi, jangan karena aku suka menulis, kamu jadi
mengira setiap yang ku tulis untukmu hanyalah sekedar rancangan dan
imajinasiku."
"Apa
itu berlaku untuk kalimat 'aku sayang padamu' yang kamu tuliskan di pesan
singkat untukku?"
"Tentu!
Aku menyayangimu, benar-benar menyayangimu. Tapi, memang benar katamu. Saat
ini, kita kerap kali tidak sejalan. Daripada kita terus-terusan saling
menyakiti tanpa sadar atau pun tidak, lebih baik sampai di sini saja."
Dia
terdiam mendengar penjelasanku. Aku tak mau ada yang mengganjal lagi di hatiku,
makanya, ku lanjutkan lagi apa yang sekarang membuat hatiku meledak-ledak.
"Aku tau umurku berapa. Jadi, aku berpikir realistis sajalah. Setiap
pertemuan pasti kan selalu dihadiahkan perpisahan. Tapi, jika Tuhan berkehendak
lain... Who knows."
"Ah
kamu, kamu selalu lebih bijak dariku. Itu yang ku suka darimu."
Sama
seperti 6 bulan lalu yang Ia lakukan padaku, Ia langsung memelukku. Tapi, kali
ini berbeda. Jika dulu penuh senyum bahagia dan tawa, serta perasaan canggung.
Sekarang semuanya berubah menjadi suasana penuh haru dan pilu.
"Maaf
jika selama ini aku menyusahkanmu... menuntutmu banyak hal... membuatmu
cemburu... Maaf jika aku menyakitimu... Aku tak bermaksud untuk semua itu.
Terimakasih untuk semua pelajaran yang telah kamu berikan untukku. Percayalah,
aku menyayangimu. Namun, mungkin perpisahan ini adalah keputusan yang terbaik.
Tuhan akan mempertemukan kita lagi jika nama kita berdua telah ditakdirkan
untuk menjadi pasangan yang bahagia selama-lamanya." Tangisku pecah. Ku
tuangkan segala perasaanku dalam pelukannya. Ia pun semakin memelukku dengan
erat. Hangat. Penuh getir.
"Menangislah
jika itu membuatmu tenang. Aku kan memelukmu sampai kamu merasa lebih
kuat."
Sebuah
pelukan yang tulus darinya memang memberikan energi yang tak terhingga untukku.
"Apa…
aku sudah ja..ja..hat pada..mu?" Suaraku tercekat karena tangis yang semakin
menjadi-jadi itu.
"Percayalah,
kamu tidak jahat. Jika kamu mampu menemukan orang yang lebih dariku, temukanlah
orang itu. Aku hanya ingin kamu bahagia."
Cafe,
tempat duduk, makanan yang dipesan, dan pakaian yang ku kenakan, semuanya sama
seperti pertama kali aku diperbolehkan memanggilnya dengan panggilan 'sayang'.
Bedanya, jika pertemuan 6 bulan yang lalu itu untuk mengawali sesuatu yang
baru, pertemuan kali ini adalah pertemuan untuk mengakhiri sesuatu yang pernah
diawali tersebut.
Ada
perasaan lega di hatiku ketika sesuatu yang sudah lama aku simpan akhirnya ku
sampaikan pada orang yang membuat perasaan yang mengganjal di hatiku itu
tercipta.
Mungkin,
tidak akan ada yang berubah dari hari-hariku. Aku tetap akan menjalani
aktivitas seperti biasa. Tak kan ada rasa cemburu yang berkelabat secara
langsung karena aku dan dia terpaut oleh jarak. Aku tak mungkin bisa tau semua
yang dia lakukan. Cemburuku mungkin hanya akan muncul, ketika aku melihat dia
dekat dengan seseorang di jejaring sosialnya. Yang berubah hanyalah tak ada
lagi pesan singkat 'Selamat Pagi' 'Selamat Tidur' 'Aku merindukanmu' 'Sedang
apa?' 'Jangan lupa makan' darinya yang ku terima di kotak masuk handphoneku.
Tuhan, semoga perpisahan ini tidak menyakiti hati siapa pun di antara kami. Amin.